Dalam perjalanan sejarahnya, keadaan Malioboro sungguh berbeda dengan kondisi saat ini yang hampir selalu macet dan sangat padat oleh pedagang dan kendaraan parkir.
Kala itu, kawasan Malioboro menjadi jantung kota Yogyakarta masih didominasi pejalan kaki, sepeda, andong, dan sedikit mobil pribadi.
Kala itu, kawasan Malioboro menjadi jantung kota Yogyakarta masih didominasi pejalan kaki, sepeda, andong, dan sedikit mobil pribadi.
Malioboro 1948, Yogyakarta |
Foto lawas di atas tersebut merupakan koleksi BPAD Daerah Istimewa Yogyakarta ini menggambarkan kesibukan lalu lintas di Jalan Malioboro di depan palang pintu kereta api Stasiun Tugu Yogyakarta di tahun 1948.
Di masa yang telah lalu, Kota Gudeg ini pernah memiliki predikat sebagai Kota Sepeda. Pada dekade 1960 hingga 1970-an, moda transportasi sepeda terbilang populer digunakan warga Yogyakarta, selain sarana transportasi tradisional lainnya seperti andong dan gerobak (angkutan barang).
Saat ini, di Kota Pelajar itu masih terdapat banyak sisa-sisa peninggalan jaman sepeda. Buktinya masih banyak sepeda kuno yang dirawat secara turun temurun. Karena perkembangan waktu dan semakin meluasnya progresivitas pergerakan, moda transportasi sepeda menjadi semakin ditinggalkan karena daya jelajahnya yang tergolong terbatas.
Suasana Malioboro seperti dalam foto lama itu hanya tinggal kenangan. Kini Malioboro menjadi salah satu pusat bisnis dengan perputaran uang sangat besar untuk ukuran kota Yogyakarta.
Ada banyak orang, organisasi, kelompok atau lembaga yang menggunakan kawasan Malioboro untuk menyelenggarakan berbagai kepentingan dan hajat hidupnya. Malioboro ibarat gula yang menarik sekian banyak orang untuk turut menikmati manisnya.
Tidak aneh jika kawasan yang tidak terlampau luas ini menjadi padat dan menjadi medan pembuangan gas dari knalpot kendaraan bermesin dengan intensitas yang sangat tinggi.
Referensi
http://siks.bpadjogja.info/pameran_virtual/detail/289/18/0
http://arsip.tembi.net/id/news/yogyakarta-tempo-doeloe/malioboro-tahun-1948-3224.html
Di masa yang telah lalu, Kota Gudeg ini pernah memiliki predikat sebagai Kota Sepeda. Pada dekade 1960 hingga 1970-an, moda transportasi sepeda terbilang populer digunakan warga Yogyakarta, selain sarana transportasi tradisional lainnya seperti andong dan gerobak (angkutan barang).
Saat ini, di Kota Pelajar itu masih terdapat banyak sisa-sisa peninggalan jaman sepeda. Buktinya masih banyak sepeda kuno yang dirawat secara turun temurun. Karena perkembangan waktu dan semakin meluasnya progresivitas pergerakan, moda transportasi sepeda menjadi semakin ditinggalkan karena daya jelajahnya yang tergolong terbatas.
Suasana Malioboro seperti dalam foto lama itu hanya tinggal kenangan. Kini Malioboro menjadi salah satu pusat bisnis dengan perputaran uang sangat besar untuk ukuran kota Yogyakarta.
Ada banyak orang, organisasi, kelompok atau lembaga yang menggunakan kawasan Malioboro untuk menyelenggarakan berbagai kepentingan dan hajat hidupnya. Malioboro ibarat gula yang menarik sekian banyak orang untuk turut menikmati manisnya.
Tidak aneh jika kawasan yang tidak terlampau luas ini menjadi padat dan menjadi medan pembuangan gas dari knalpot kendaraan bermesin dengan intensitas yang sangat tinggi.
Referensi
http://siks.bpadjogja.info/pameran_virtual/detail/289/18/0
http://arsip.tembi.net/id/news/yogyakarta-tempo-doeloe/malioboro-tahun-1948-3224.html