Ambtenaar kala itu. tak lepas dari posisinya yang berada di kelas atas. Pada masa pemerintahan kolonial India Belanda (Nederlands Indie), ambtenaar ini identik dengan para priyayi yang menjadi pegawai negeri dan diharapkan menjadi ajang pengabdian kepada pemerintah yang dibangun dari kesadaran derajat status sosial yang lebih tinggi.
Dalam sejarahnya, pegawai negeri ini tumbuh dari kalangan elit pribumi di zaman kolonial India Belanda. Pegawai negeri saat itu disebut dengan pangreh praja, elit-elit pribumi yang direkrut oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dengan tujuan memperluas kepentingan kolonialnya di nusantara.
Dalam sejarahnya, pegawai negeri ini tumbuh dari kalangan elit pribumi di zaman kolonial India Belanda. Pegawai negeri saat itu disebut dengan pangreh praja, elit-elit pribumi yang direkrut oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dengan tujuan memperluas kepentingan kolonialnya di nusantara.
Pegawai Kolonial Ambtenaar dan Sepedanya |
Pada foto di atas koleksi dari www.djamandahoeloe.com ini nampak seorang Ambtenaar sedang menuntun sepedanya. Foto yang telah diberi warna ini diperkirakan dibuat sekitar tahun 1948.
Tahun 1806, datanglah seorang pembawa ide-ide negara modern, yaitu Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels. Ia segera berkeinginan merombak model birokrasi ala VOC. Saat itu, Deandels merekrut bupati-bupati sebagai pegawainya. Pegawai diera Deandels ini disebut volkshoofden.
Seiring dengan perkembangan India Belanda, tuntutan untuk membentuk birokrasi modern pun dirasa penting. Maka dimulailah perekrutan secara besar-besaran. Kala itu, pegawai kolonial ini sering disebut ambtenaar. Pada awalnya, lowongan menjadi ambtenaar hanya dibuka bagi golongan bangsawan atau priyayi.
Mimpi hidup enak, dengan gaji yang besar, membuat pelamar ambtenar sangat banyak. Ini bisa dibaca dari tulisan seorang patih Tulungagung pada 27 Desember 1809: “Anak-anak priayi saja sudah terlalu banyak, tambah beberapa anaknya orang kecil, di mana-mana kantor penuh magang-magang yang tentu harap buat jadi priyayi.”
Pakaian para ambtenaar itu memakai jas putih, pantalon putih, dan topi helm yang menyerupai topi baja. Mereka terkadang pergi ke tempat kerja dengan menggunakan sepeda. Pendek kata, jaman itu, kehidupan ambtenaar dirindukan banyak orang.
Sebagai ambtenaar di kantor karesidenan, orang akan menjadi sosok yang terpandang di daerahnya. Dari sisi ekonomi, ambtenaar terlihat sangat berkecukupan untuk menghidupi diri maupun keluarganya. Para tetangga disekitarnya sangat menghormati sosok dan peranya. Terlebih kala itu, memang terbilang langka orang pribumi yang bisa bekerja di kantor pemerintah India Belanda.
Saban hari para ambtenaar ini pergi mengendarai sepeda ke kantor karesidenan yang terlihat mewah dan berwibawa. Semua para ambtenaar harus bekerja sepenuh hati, mewujudkan tata kelola yang baik untuk melayani masyarakat banyak.
Kala itu, salah satu kendaraan yang berperan penting dalam membantu pekerjaan para ambtenaar sehari-hari adalah sepeda. Bahkan para ambtenaar atau bangsawan ini sangat bangga pergi keliling mengecek kebun atau tanah dengan sepeda. Di saat libur, mereka pun melancong bersama sang kekasih juga naik sepeda.
Dahulu sepeda ikut menentukan “derajat” kehidupan seseorang. Buktinya, sepeda bermerek papan atas, seperti Gazelle, Simplex, Fongers, BSA, Humber, Rudge, Raleigh, Fiscal dan lainnya disimbolkan sebagai kendaraan kaum priyayi dan tuan tanah. Merek sepeda itu pun identik dengan status kekuasaan dan dikenal dekat dengan bangsa penjajah.
Referensi
Herry Gendut Janarko,. Matiur M. Panggabean Bunga Pansur Dari Balige : Pengabdian dan Keteguhan Iman Seorang Istri Prajurit, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Eni Setiati et al,. Ensiklopedia Jakarta 3. Jakarta: PT. Lentera Abadi,2009.
Foto Oldbike in History.
Tahun 1806, datanglah seorang pembawa ide-ide negara modern, yaitu Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels. Ia segera berkeinginan merombak model birokrasi ala VOC. Saat itu, Deandels merekrut bupati-bupati sebagai pegawainya. Pegawai diera Deandels ini disebut volkshoofden.
Seiring dengan perkembangan India Belanda, tuntutan untuk membentuk birokrasi modern pun dirasa penting. Maka dimulailah perekrutan secara besar-besaran. Kala itu, pegawai kolonial ini sering disebut ambtenaar. Pada awalnya, lowongan menjadi ambtenaar hanya dibuka bagi golongan bangsawan atau priyayi.
Mimpi hidup enak, dengan gaji yang besar, membuat pelamar ambtenar sangat banyak. Ini bisa dibaca dari tulisan seorang patih Tulungagung pada 27 Desember 1809: “Anak-anak priayi saja sudah terlalu banyak, tambah beberapa anaknya orang kecil, di mana-mana kantor penuh magang-magang yang tentu harap buat jadi priyayi.”
Pakaian para ambtenaar itu memakai jas putih, pantalon putih, dan topi helm yang menyerupai topi baja. Mereka terkadang pergi ke tempat kerja dengan menggunakan sepeda. Pendek kata, jaman itu, kehidupan ambtenaar dirindukan banyak orang.
Sebagai ambtenaar di kantor karesidenan, orang akan menjadi sosok yang terpandang di daerahnya. Dari sisi ekonomi, ambtenaar terlihat sangat berkecukupan untuk menghidupi diri maupun keluarganya. Para tetangga disekitarnya sangat menghormati sosok dan peranya. Terlebih kala itu, memang terbilang langka orang pribumi yang bisa bekerja di kantor pemerintah India Belanda.
Saban hari para ambtenaar ini pergi mengendarai sepeda ke kantor karesidenan yang terlihat mewah dan berwibawa. Semua para ambtenaar harus bekerja sepenuh hati, mewujudkan tata kelola yang baik untuk melayani masyarakat banyak.
Kala itu, salah satu kendaraan yang berperan penting dalam membantu pekerjaan para ambtenaar sehari-hari adalah sepeda. Bahkan para ambtenaar atau bangsawan ini sangat bangga pergi keliling mengecek kebun atau tanah dengan sepeda. Di saat libur, mereka pun melancong bersama sang kekasih juga naik sepeda.
Dahulu sepeda ikut menentukan “derajat” kehidupan seseorang. Buktinya, sepeda bermerek papan atas, seperti Gazelle, Simplex, Fongers, BSA, Humber, Rudge, Raleigh, Fiscal dan lainnya disimbolkan sebagai kendaraan kaum priyayi dan tuan tanah. Merek sepeda itu pun identik dengan status kekuasaan dan dikenal dekat dengan bangsa penjajah.
Referensi
Herry Gendut Janarko,. Matiur M. Panggabean Bunga Pansur Dari Balige : Pengabdian dan Keteguhan Iman Seorang Istri Prajurit, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Eni Setiati et al,. Ensiklopedia Jakarta 3. Jakarta: PT. Lentera Abadi,2009.
Foto Oldbike in History.